Nikmatnya menyantap Gado-Gado Cinta

Lezat dan mengenyangkan! Itulah kesan saya setelah selesai menyantap Gado-Gado Cinta. Lezat bukan di lidah dan keyang bukan di perut, sebab gado-gado racikan dari S. Rahoyo ini bukan berupa makanan, tetapi tulisan. Atau lebih tepatnya, tulisan-tulisan yang terangkum dalam sebuah buku berjudul 101 Gado-Gado Cinta. Jadi, maksud saya: lezat dan keyang tersebut, saya menikmatinya di pikiran dan di hati.

Aroma bumbu dan rasa Gado-Gado Cinta, sudah bisa saya nikmati sejak membuka lembar buku pada halaman-halaman awal. Seperti saat saya membaca tulisan Pada Mulanya… (semacam pengantar) buku, saya sudah mulai merasakan kenikmatan sajian si penulis. Saya dibuatnya tersenyum-senyum sendirian, sebab racikan kata-kata yang disajikan S. Rahoyo benar-benar sedap, renyah sekaligus bergizi. Melihat gelagat saya tersebut, membuat istri saya (yang sedang nonton tivi) menjadi penasaran dan ingin segera turut mencicipi.

S. Rahoyo menutup pengantar tersebut dengan ‘campuran’ kalimat yang menyegarkan, seperti ini: Namun, dalam perjalanannya, ternyata penghayatan itu menjadi meluas tidak hanya terpusat pada cinta ibu kepada ayah, tetapi juga terbang ke masa pacaran dulu, penghayatan hidup berkeluarga, mengasuh anak, juga dalam meniti karier (selama empat belas tahun bekerja saya pindah 8 kali, sekali harus bertahan 6 tahun karena sembari menyelesaikan kuliah), dsb. Jadilah, buku cinta yang gado-gado. Ia bergerak kesana ke mari, diikat dalam satu piring… cinta. Silakan pilih dan pilah, mana yang enak dan yang tidak enak, mana yang Anda suka dan tidak suka. Yang enak dan disukai, nikmatilah … yang tidak enak dan tidak disukai singkirkanlah. Persis seperti ketika kita makan gado-gado!

Menyegarkan? Ya! Setidaknya dari penilaian saya. Mengapa? Karena di akhir tulisan pengantar itu, S. Rahoyo mencoba menawarkan pilihan bagi para pembaca. Ia percaya bahwa Gado-gado Cinta yang diraciknya mungkin ada yang cocok di ‘lidah’ pembaca, tetapi (mungkin juga) ada yang kurang sesuai dengan selera pembaca. Sikapnya nampak saat menulis, Yang enak dan disukai, nikmatilah … yang tidak enak dan tidak disukai singkirkanlah. Sebuah ungkapan yang berisi pilihan sekaligus terkadung sebuah kebijaksanaan yang dalam. Sebagai seorang ‘koki’ buku, S. Rahoyo sudah tentu berusaha menyajikan yang terbaik, namun ia juga menyadari bahwa apa yang menurutnya terbaik belum tentu baik menurut orang lain. Itulah kesan yang saya tangkap dan yang mampu menyegarkan saya.

Anehnya, setelah saya menikmati 101 Gado-Gado Cinta sampai ‘sendok yang terakhir’, saya tidak menemukan yang tidak enak dan yang perlu saya singkirkan. ‘Piring saya’ benar-benar bersih tak tersisa, bahkan sampai sambalnyapun, habis saya lahap. Ah… benar-benar gado-gado yang spesial, istimewa, dan bercita rasa yang sempurna.

Bagi Anda yang belum pernah menikmati 101 Gado-Gado Cinta, Anda sendiri perlu mencobanya. Lagian harganya juga murah, hanya Rp. 14.000,- sebungkus. Sekali beli, Anda bisa menikmati terus-menerus. Tidak akan pernah habis, kecuali hilang dinikmati orang lain alias dipinjam, tapi tidak dikembalikan kepada Anda.
O ya, Anda mau mencicipi sedikit Gado-Gado Cinta? Ini saya bagikan beberapa menu disajikan S. Rahoyo:

Inilah bedanya uang dengan cinta. Jika uang semakin dibagi akan semakin habis, cinta semakin dibagi justru akan semakin berlipat ganda.

Cinta dan nafsu ibarat nasi dengan sambal. Makan nasi tanpa sambal akan terasa hambar, tetapi makan sambal tanpa nasi akan membuat celaka.

Cinta membutakan mata, tapi membukakan hati. Nafsu membutakan hati, tapi membelalakkan mata.

Mau lagi?
Beli saja sendiri, terus silakan Anda nikmati dan saya tunggu Anda berbagi pengalaman, di sini.

Selamat Tahun Baru 2008,

semoga tahun ini kita bisa memberi rasa dan makna yang menyegarkan...

Salam,

-lilik, siska, kezia-

Sumber gambar: http://www.pbmr-andi.com/