Kamis, 27 Desember 2007

Tuhan, saya memaafkan Romo Paroki…

29 Juni 2001, tanggal yang tidak akan pernah saya lupakan. Di tanggal itu, ada 2 pengalaman iman sekaligus yang saya (sekeluarga) alami. Yang pertama, saya menerima sakramen pernikahan dengan seorang wanita bernama Fransiska. Seorang guru SD di Perhimpunan Marsudirini yang telah berpacaran dengan saya selama 7 tahun 3 bulan 14 hari. Dan… yang kedua, karena di hari yang membahagiaan tersebut, saya ‘dikhianati’ oleh Romo Parokiku (kala itu, karena sekarang Beliau sudah pindah).
Saya memakai tanda (‘) dalam kata dikhianati, karena lebih tepatnya saya dikecewakan oleh Beliau.
Bagaimana peristiwa ‘pengecewaan’ itu terjadi?
Saya dan calon istri (saat itu), telah mempersiapkan upacara yang sakral ‘sakramen pernikahan’ dengan semaksimal mungkin. Sekitar dua bulan sebelum hari H, saya berdua sudah menghubungi dan meminta ijin pihak-pihak terkait untuk menjadi bagian dalam sakramen pernikahan kami. Termasuk ijin menggunakan ‘gereja wilayah’ yang baru saja selesai direnovasi dan sangat megah untuk ukuran gereja di sebuah desa kami. Selain dengan pertimbangan jarak gereja yang dekat, sekitar 200 meter dari rumah calon istri, juga karena didorong seorang 'sesepuh' wilayah, agar kami menggunakan gereja wilayah saja.
Kami setuju, dan meminta ijin Romo Paroki, dan Beliau mengijinkan. Semua beres, dan semakin mendekati hari H, kami berusaha semakin mempersiapkan terutama jiwa kami. Salah satunya dengan melakukan pengakuan dosa, pada hari H-4.
Semua berjalan lancar,
Sesuai harapan kami,
Hingga… di pagi itu…
2 hari menjelang hari H,
Saya menerima sebuah telpon dari istri sesepuh wilayah yang memberitahu bahwa ‘pihak paroki (Romo) membatalkan ijin penggunaan gereja wilayah…
Saya kaget…
Keluarga apalagi…
Mengapa tiba-tiba Romo Paroki mengubah keputusannya…
Saya merasa dikhianati…
Kemudian, pagi itu juga saya minta klarifikasi ke Romo Paroki,
Dan memang benar… saya dianjurkan untuk memindahkan misa pernikahan ke Gereja Paroki…
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya minta ijin untuk mengadakan misa di rumah calon istri saya,
Dan Romo ijinkan…
Akhirnya, misa pernikahan berlangsung dan berjalan lancar…
Namun,
Peristiwa itu membenamkan dendam saya pada Romo Paroki,
Semenjak peristiwa itu, setiap saya mengingat atau melihat Romo Paroki memimpin misa di gereja, hati saya merasa dan pikiran saya ‘melihat’ Beliau bukan seorang Romo, tetapi seorang (maaf) pengkhianat. Dan… itu terus berlangsung… sekitar tiga bulan…
Hingga suatu pagi, di misa pagi,
Saya hadir di sana dan Beliau yang memimpin…
Kembali jiwa saya bergejolak,
Dendam di hati saya kembali bergejolak,
Saya marah… kemarahan yang sama dengan hari-hari sebelumnya…
Tetapi,
Tiba-tiba… ada sebuah sesuatu (bisikan) muncul di hati saya…
Yang mengatakan, “Lilik, maukah engkau memaafkan Romo Paroki?” Saya tidak menanggapi…
Dan… suara itu datang lagi, “Lilik, maukah engkau memaafkan Romo Paroki yang telah melukaimu?” Saya mulai terusik dan membalas dalam hati, “Mengapa saya harus memaafkan?”
Dan, suara di hati itu menjawab,”Bukankah begitulah ajaran-Ku? Ampunilah kesalahan orang lain, seperti Aku telah mengampuni engkau?”
Saya meneteskan air mata, saya memandang Romo Paroki yang sedang memimpin misa, kemudian saya berkata dalam hati, “Karena Engkau, Tuhan yang memerintahkan saya untuk memaafkan, untuk mengampuni, maka saat ini juga saya mengampuni Romo Paroki yang telah melukai saya…”
Saat itu juga, setelah saya berkata demikian dalam hati saya,
Saya mengalami sesuatu peristiwa, yang sebelumnya belum pernah saya alami,
Sebuah pengalaman iman yang baru saat itu saya bisa rasakan…
Apa itu?
Kelegaan… kedamaian…
Ya… selama ini, saat saya masih dendam dan belum memaafkan Romo Paroki,
Serasa ada beban dalam punggung saya, tetapi pagi itu, saya merasa plong… bebas… lepas…
“Oh… ini tho manfaatnya mengampuni orang lain itu,” guman saya dalam hati.
Sejak hari itu… saya merasa ada yang lain, meskipun saya ingat pengalaman itu, tetapi hati saya merasa damai. Tidak ada lagi dendam terhadap Romo Paroki. Ada hati yang baru, setelah mengampuni.
Selain itu,
Ada pelajaran lain yang akhirnya saya dapatkan dari peristiwa itu,
1. “Kapan kita akan praktek mengampuni orang lain, jika kita tidak pernah disakiti? Jadi, sebuah kesempatan bagi kita, kalau ada orang yang menyakiti. Kesempatan untuk mengampuni”
2. “Saya belajar bahwa Romo juga manusia, kadangkala tidak luput dari salah. Sehingga saya belajar untuk menempatkan pribadi seorang Romo dalam bingkai yang lebih tepat. Tetap menghargai tetapi juga menyadari, bahwa beliau-Beliau juga manusia…”

Memaafkan orang yang telah menyakiti diri kita ternyata menjadi jalan membebaskan diri kita sendiri dari belenggu dendam. Memaafkan, sebagai kado akhir tahun. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri. Kebebasan diri Anda. Bersediakah Anda memaafkan orang yang telah mengkhianati Anda?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

memang memaafkan atau mengakui itu pelajaran paling berat ya mas

R. Lilik Siswanto mengatakan...

to:Didut...

Iya... tapi setelah dilakukan kita jadi plong! Kayak orang menahan mau kencing itu lho Dut, setelah dikeluarkan jadi lega...
Hayo, betul kan?

SELAMAT DATANG

[blog ini berisi tulisan, karya, dan pemaknaan terhadap perjalanan hidup saya]

Yang telah terbit:..

 

brankas coretan:..


Buku Tamu:


Free shoutbox @ ShoutMix

Jumlah Pengunjung

Powered By Blogger