Hari Sabtu adalah hari yang sangat digandrungi oleh Eka, putri semata wayang Pak Kromo. Lantaran hari Sabtu berarti hari keluarga, dimana biasanya ia diajak oleh ortunya untuk jalan-jalan di alun-alun tengah kota. Selain bisa naik andhong kesukaannya, juga bisa menikmati bakso roket yang kata penjualnya ditanggung bebas borax dan formalin.
Jam segini, biasanya ayahnya sudah mulai mengajak persiapan jalan-jalan. Tapi entah mengapa, hari ini koq terasa tenang-tenang aja. Gak ada tanda-tanda yang memperlihatkan gelagat ayahnya mengajak jalan-jalan.
“Ini, gak bisa dibialkan”, ujar Eka pelan. Suara cedalnya terasa kental. Eka menuju ke teras depan, untuk menemui ayahnya. Begitu sampai di teras, Eka lihat ayahnya lagi terlihat serius menempelkan stiker di slebor sepeda motor. “Yah... lajin ibadah koq lajin kolupsi. Maksudnya gimana tho Yah?”, tanya Eka setelah melihat tulisan yang ada di stiker yang barusan ditempel Pak Kromo.
“Oh... ini berarti ungkapan yang menyatakan gak wajar nak”, sahut Pak Kromo sambil berpaling menatap wajah Eka.
“Maksudnya?”
“Ya... harusnya orang yang rajin beribadah, rajin berdoa itu tidak melakukan korupsi.”
“Lantas kenapa stikel itu ditempel di sepeda motol Ayah, emang ada olang yang belbuat begitu?”, tanya Eka terlihat penasaran.
“Tidak hanya ada nak. Di negeri kita ini, sekarang banyak orang yang berbuat gitu. Menjadikan ibadah sebagai topeng untuk menutupi boroknya. Menjalankan ibadah agar terlihat suci, sehingga gak kelihatan kalau melakukan tindak korupsi.”
“Telus maksud Ayah nempelin stikel gitu buat apa?”
“Ya... sekedar mengingatkan agar topeng-topeng itu saatnya dilepas. Agar tidak ada lagi orang yang rajin ibadah sekaligus rajin korupsi. Agar orang yang gak pernah beribadah gak bisa lagi berkata, buat apa beribadah, toh nyatanya banyak yang rajin beribadah juga rajin korupsi. Juga tidak layak dan tidak sepantasnya kalau orang yang rajin beribadah itu rajin korupsi”
“Maksudnya?”, tanya Eka sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Rajin ibadah khan seharusnya semakin diarahkan untuk hidup semakin baik. Semakin berkenan di hadapan Tuhan, bukan sebaliknya”
“O... mungkin untuk penyeimbang Yah.”
“Maksud Eka?”, tanya Pak Kromo gantian yang penasaran.
“Dengan belbuat jelek belalti halus diseimbangkan dengan pelbuatan baik, sehingga tetap bisa dinetlalkan. Gitu mungkin Yah”
Pak Kromo terdiam. Ia merenungkan apa yang barusan disampaikan anaknya. Mungkin ada benarnya.
“Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya Eka tahu gak sih artinya korupsi”, tanya Pak kromo pada anaknya yang masih berusia 10 tahun itu.
“Justru Eka sedang mau tanya Yah”, sahut Eka spontan.
Sambil menggelengkan kepala mungilnya.
Pak Kromo tersenyum.
Kecut.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Habitus edisi April 2006. Namun sayang, karena beberapa hal majalah tersebut akhirnya berhenti terbit. Dan… untuk mengenang majalah tersebut, artikel yang saya tulis untuk kolom ‘Teh Kepyur’ ini, sengaja saya tampilkan di blog leksismenulis. Semoga bermanfaat dan bisa membuat Anda tersenyum oleh ulah keluarga Pak Kromo.)
Minggu, 07 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SELAMAT DATANG
[blog ini berisi tulisan, karya, dan pemaknaan terhadap perjalanan hidup saya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar