Jumat, 11 September 2009

Obat Cemburu

Lek Sis *)


Sudah seminggu ini, letupan api cemburu membara dalam hatiku. Perasaanku tidak mau kompromi dengan akal sehatku. Entah mengapa dan datangnya darimana, api cemburu ini hadir secara tiba-tiba. Seperti serangan jantung yang merenggut nyawa Mbah Surip. Mendadak! Tanpa diduga-duga.


Demikian juga dengan perasaanku. Mendadak, aku tidak rela menyaksikan sikap Rini yang akrab dengan Andre. Padahal rasa cemburu ini sebelumnya tidak ada. Aku percaya pada Andre. Sangat-sangat percaya. Aku juga yakin bahwa keakraban mereka lantaran kegiatan di OSIS. Tidak lebih.


Andre, pacarku, adalah ketua OSIS di sekolahku. Sementara Rini menjabat sekretarisnya. “Jadi wajar kan kalau mereka akrab,” demikian kalimat penghibur yang bertahta dalam benakku selama 3 bulan ini.


Tapi, sudah seminggu ini kalimat penghibur itu tiba-tiba lenyap. Hilang tak berbekas. Kini digantikan dengan api cemburu yang berkobar-kobar. Aku tidak rela menyaksikan keakraban mereka. Aku tidak rela melihat mereka berdiskusi, meski dalam sebuah rapat OSIS. Bahkan, yang lebih gila lagi, aku tidak rela kalau Andre jadi ketua OSIS. Aku ingin menginginkan seutuhnya. Waktu, tenaga, pikirannya hanya untukku.


Ini benar-benar gila!


Aku sadar ini sebuah tindakan kegilaan, namun anehnya rasa cemburuku lebih menguasaiku. Rasa cemburuku lebih kuat dibanding kesadaranku. Perasaanku lebih perkasa dibanding akal pikiranku.


“Kamu butuh obat!” suara hatiku memberi nasihat.

“Obat cemburu? Dimana aku bisa membelinya?” suara lirih dari bibirku menimpali.

Obat cemburu?


Adakah obat cemburu? Bila ada, lalu dimana aku bisa membelinya? Siapa yang bisa kutanyai? Apakah aku harus bertanya pada Bu Heni, guru BP? Atau bertanya pada ayah atau ibuku?

Ahhh… semakin kupikir justru semakin membikinku bingung. Dan juga membuatku semakin cemburu. Pada Andre dan Rini.

* * *

Tubuhku hinggap di atas tempat tidur. Harum aroma melati yang menguap dari sprei membelai-belai hidungku. Merangsang pikiranku mengembara. Melayang. Menembus batas keberadaan tubuhku.


Pikiranku ada di Bukit Cinta. Obyek wisata yang berada di tepi Rawa Pening. Aku menikmati hamparan air tenang yang tepat berada di depanku. Sambil sesekali kurasakan hembusan angin sepoi-sepoi dari puluhan pohon pinus yang ada di sekitarku.


Oh… Bukit Cinta. Oh… Rawa Pening. Seandainya dirimu berada di Amerika, tentu engkau akan dikenal di seluruh penjuru dunia. Keindahanmu akan disebut-sebut oleh para penulis novel dari negeri Paman Sam. Kecantikanmu akan menghiasi film-film Holywood. Dirimu akan dipuja-puja. Dinas Pariwisata kabinet Obama akan mendadani dirimu agar semakin menarik, semakin memesona, dan semakin seksi.


Tak mau kalah, segenap begawan marketing akan mengemas promosi tentang dirimu sedemikian menarik. Daya magnetis dirimu semakin membesar. Daya tarikmu semakin hebat. Dahsyat! Sehingga puluhan juta wisatawan dari segala penjuru dunia datang kepadamu setiap tahunnya. Bahkan ada ratusan juta penduduk dunia lainnya yang mengimpikan datang menghampirimu.


Hingga dirimu bisa mengalirkan devisa yang besar. Lebih besar dari gundukanmu, Bukit Cinta. Dan, tentu saja engkau bisa mengalirkan kesejahteraan bagi penduduk yang tinggal di sekitarmu.


Oh… Bukit Cinta, oh… Rawa Pening.


Ya… seandainya saja. Tapi, kenyataannya engkau tinggal di Indonesia, Bukit Cinta. Kenyataannya engkau berada di kisaran Ambarawa, Rawa Pening. Semoga engkau bisa menerima kenyataan ini. Siapa yang mau menulis tentangmu? Siapa yang mau lebih peduli untuk mempercantik dirimu? Siapa yang mau menjadikanmu sebagai lokasi shooting film? Siapa yang peduli kepadamu? Ah… aku tidak tahu!


Tiba-tiba aku melihat ada dua orang di atas perahu. Mendayung perahu. Semakin mendekat ke arahku, semakin jelas raut wajah mereka. Ha… Andre dan Rini?


Pengembaraan pikiranku terhenti. Dadaku sesak. Aku tersadar masih di atas tempat tidur. Aku hanya berimajinasi, yang membuat rasa cemburuku semakin meluap. Banjir memenuhi sekujur tubuhku. Derasnya seperti air yang berlari akibat tsunami di Aceh beberapa tahun lalu.


Kini, adegan dalam pikiranku berubah drastis. Indahnya menikmati pesona Bukit Cinta berubah jadi gempuran rasa cemburu. Kini, ada puluhan pertanyaan yang melompat-lompat di pikiranku. Saling tumpah tindih. Semua dalam bentuk tanya. Belum ada setitik jawaban. Serba membingungkan!


Oh… apakah ada obat cemburu? Kalau ada, dimana aku bisa menemukannya? Kepada siapa aku harus bertanya? Bentuknya seperti apa? Berapa harganya? Apakah benar-benar mujarap? Kapan aku bisa memperolehnya? Bagaimana cara memperolehnya? Mengapa aku jadi memikirkannya? Ah, jadi tambah pusing aku dibuatnya. Benar-benar pusing!


Mendadak, pertanyaan-pertanyaan itu buyar. Dering hp membuatku kaget. Ada sms. Dari siapa ya?

Kugapai hp berwarna perak yang ada di meja belajar.


“O… dari tante Agnes.”

“Na, apakah kamu pernah cemburu? Apakah kamu percaya bahwa cemburu adalah bukti cinta? Kalau kamu mau tahu jawabannya, silakan kamu baca buku Love Freak. Aku baru saja mengirimnya, mungkin besok sudah nyampe. Oke? O ya, selamat ulang tahun ya. Ingat, besok kamu sudah 17 tahun lho! Jadi, kamu sudah boleh …. ~Agnes~”

Deg!

Jantungku berdegup kencang. Hukum ketertarikan ala buku Low of Attraction bekerja! Benarkah? Atau hanya kebetulan? Tetapi buku Becoming a Money Magnet bilang Kebetulan yang Tidak Kebetulan.

Ah… entahlah!


Yang penting inikah obat cemburu yang disebutkan oleh suara hatiku itu? Buku Love Freak!

Secepat kilat jempol menari-nari di kipet hpku. Segera ingin kebalas sms dari Tante yang tinggal di Yogyakarta itu.


“Sudah boleh nonton film 17 tahun ke atas kan? :-) Terima kasih ya, dan pasti aku tunggu. Tante Agnes, selalu tahu yang kumau. ~Anna~”


“Hus… Jadi, kamu sudah boleh mengendarai motor. Kamu sudah boleh punya SIM. Oke? Tambah cerdas ya! Dan nitip salam buat ayah dan ibumu. ~Agnes~”


“Oke!” balasku singkat. Khusus sms dengan Tante Agnes, aku tidak berani memakai bahasa gaul. Apalagi nyingkat-nyingkat sms. Huh… bisa-bisa dapat petuah bijak. Maklum, Tante Agnes kerja sebagai editor di salah satu penerbit terbesar di kota Gudeg.


Ah… buku Love Freak? Seperti apakah engkau? Apakah engkau bisa jadi obat untuk virus cemburu yang sedang menyerangku ini?

Sms dari tante Agnes membuatku senang sekaligus menancapkan virus baru di batinku. Virus penasaran. Penasaran ingin segera menyantap buku itu. Ah… betapa tidak enak merasakan cemburu bercampur penasaran.


Sebel!

* * *

Aku menyobek amplop berwarna coklat yang ada di genggamanku. Kugapai isi yang tersembunyi di dalamnya. Satu buku: Love Freak.


Warna pink mendominasi judul buku Love Freak, dengan bingkai berwarna putih. Sedang sampul buku didominasi warna kuning. Segar! Benar-benar perpaduan warna yang memacu adrenalinku. Aku ingin segera mengunyahnya. Melumatnya sampai habis. Tak tersisa.


“Ngebongkar mitos-mitos Cinta secara Radikal,” demikian sederet kata-kata yang tertera di sampul buku. Menemani tulisan Love Freak. Membaca sub judul buku yang ada di genggamanku ini, membuatku semakin penasaran. Semakin membuatku segera melumat seluruh isinya.


Segera kubuka dan kubaca buku yang ditulis oleh S. Rahoyo ini. Aku ingin segera membuktikan sms dari Tante Agnes kemarin, ” Na, apakah kamu pernah cemburu? Apakah kamu percaya bahwa cemburu adalah bukti cinta? Kalau kamu mau tahu jawabannya, silakan kamu baca buku Love Freak.”


Kubaca Love Freak dengan serius. Aku benar-benar membutuhkan obat cemburu. Kubuka lembar demi lembar. Kubaca kata demi kata. Kukunyah, kucerna. Tiba-tiba, mataku terbelalak. Hatiku bergetar. Saat aku mulai membaca halaman 16. Ada getaran semakin membesar saat kubaca halaman 17, apalagi halaman 18.


Inilah yang aku cari selama seminggu ini.

Aku membaca ulang halaman 16 dan 17. Kalau tadi hanya membaca dalam hati, kini aku ingin mendengar bacaan lewat nada dari mulutku.


“Jauh-jauh sebelumnya kamu perlu tahu bahwa (praktik) cinta sama sekali tidak identik dengan pengetahuan tentang cinta. Maksud saya, boleh jadi seseorang tahu banyak tentang cinta, tapi hidupnya sama sekali tidak menunjukkan cinta. Sebaliknya, ada seseorang yang mungkin sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang cinta, tetapi hidupnya mampu membuktikan bahwa ia adalah seseorang yang penuh cinta.


Kalau begitu, mana yang lebih penting: praktik cinta atau pengetahuan tentang cinta? Kalau saya harus memilih salah satu di antara keduanya, saya memilih untuk tidak memilih. Bagi saya, keduanya penting dan saling melengkapi. Tentu saja saya sepakat bahwa pengetahuan tentang cinta sangat tidak cukup tanpa praktik cinta. Tapi, praktik cinta tanpa pengetahuan hakiki tentang cinta, juga bisa menyesatkan!


Contohnya, kamu cemburu ketika pacarmu berjalan bersama orang lain. Dan, kamu mengira cemburu itu merupakan tanda cintamu kepadanya. Kesimpulan berikutnya, semakin besar rasa cemburumu, itu pertanda semakin besar pula cintamu kepadanya. Kesimpulan berikutnya lagi, kalau begitu kamu perlu terus-menerus memperbesar rasa cemburu itu. Kenapa? Ya, itu tadi … karena semakin besar rasa cemburumu dikira semakin besar pula cintamu padanya.


Benarkah cemburu adalah tanda cintamu kepadanya? Omong kosong! Cemburu 100% membuktikan bahwa kamu hanya ‘mencintai’ dirimu sendiri dan bukan mencintainya! Renungkan baik-baik: Si dia (pacarmu tadi) berjalan bersama orang lain. Kamu pun mulai khawatir atau curiga bahwa dia akan mengkhianatimu. Bahkan, mungkin kamu mulai takut akan ditinggalkannya. Atau, dalam bahasa yang sangat disukai para cewek, kamu mulai takut kehilangan dia. Jauh di lubuk hatimu, takut kehilangan itulah yang menjadi asal-muasal munculnya rasa cemburu itu.”


Aku berhenti sejenak. Kucoba mencerna kalimat-kalimat yang baru saja kubaca tersebut. Aku tidak ingin sekedar membaca. Aku ingin memperoleh manfaat yang paling optimal dari membaca buku. Terutama membaca buku Love Freak ini. Aku mulai merasakan obat cemburunya.


Lalu, aku lanjutkan membaca, “Seandainya kamu memercayainya bahwa dia tidak akan mengkhianatimu atau kamu tidak punya rasa takut akan ditinggalkannya, niscaya rasa cemburu itu tidak akan muncul. Nah, jelas bukan, bahwa cemburu 100% demi kepentinganmu atau bukan kepentingannya? Jadi, bagaimana kamu bisa bilang, “Aku cemburu karena aku mencintaimu”? Para cewek (cowok juga!), berhati-hatilah katika pacarmu bilang, “Aku cemburu karena aku mencintaimu!” Kalau itu bukan kalimat gombalan perayu kelas wahid, yakinlah bahwa dengan mengungkapkan kalimat itu pacarmu sedang berperan sebagai serigala berbulu domba! Tampaknya saja kalimatnya manis-manis: “Aku mencintaimu…”, tapi seseungguhnya ia sedang ingin menerkam dan menguasaimu! Ya… tentu saja pada akhirnya semua terserah kepadamu.”

Aku terpana!

Tiga kalimat terakhir membuatku terkejut! Serasa ada orang yang menamparku. Keras sekali.

Jadi selama seminggu ini, aku telah berperan sebagai serigala berbulu domba bagi Andre? Ups… maafkan aku ya Dre.


Aku harus segera minta maaf ke Andre. Aku ingin buktikan bahwa aku benar-benar mencintainya. Aku ingin buktikan bahwa tidak ada hasrat mau menguasainya. Aku bukan serigala berbulu domba. Aku benar-benar domba! Dan akan kubuktikan ucapanku ini.


Tunggu ya Dre. Aku punya kado istimewa buatmu. Kalimat berenergi tinggi yang kudapat dari buku Love Freak ini.

Terdengar bel berdenting nyaring. Jernih. Sejernih suara Ruth Sahanaya.

Tanda waktu istirahat telah habis.

* * *

“An, aku makin cinta kepadamu. Met Ultah ya!” ucap Andre.

Aku tersenyum. Kuberikan senyuman yang paling manis. Senyuman, yang menurut Andre semanis es teller Sruni Ambarawa.


Kami berjalan beriringan. Meninggalkan gedung sekolah.


“O ya, nanti sore aku kan ada latihan basket. Jadi, gimana kalau ngrayain ultahmu besok aja? Sepulang sekolah, terus kita langsung menuju ke Istana Idola,” sambung Andre.


“Oke. Deal!” sahutku mantap.


“An, sms permintaan maafmu manis sekali. I like it!” ucap Andre diiringi senyum elegan. Senyuman khas nya. Senyum yang seminggu ini tidak kulihat. Lantaran api cemburuku yang meledak-ledak kepadanya.

Sekarang, aku benar-benar merasa lega. Plong! Damai kembali bernaung di hatiku.


“Dre, tahukah kamu kalau kata-kata permintaan maaf yang kukirim lewat sms tadi, kucuplik dari buku. Buku Love Freak. Aku ambil kalimat permintaan maaf yang menyentuh jiwaku dari halaman 18 buku itu. Ah… moga-moga aja kamu tidak tahu,” gumanku dalam hati.

Terima kasih Tante Agnes. Engkau telah mengirim obat cemburu buatku.

Terima kasih Love Freak. Aku semakin bersemangat untuk segera membacamu, sampai tetes terakhir.


*) Penulis tergabung dalam “Komunitas Q Semarang”

dan mengelola http://www.leksismenulis.blogspot.com/

1 komentar:

Asih Winarto mengatakan...

obat cemburu, kalau tidak keberatan akan saya terbitkan di bulletin pustaka edisi 4 tahun 2009. Tolong untuk dikirim kembali dengan diringkas maksimal 2.500 karakter, dengan penonjolan cerita pada referensi membaca literatur di perpustakaan. Trimakasih.

SELAMAT DATANG

[blog ini berisi tulisan, karya, dan pemaknaan terhadap perjalanan hidup saya]

Yang telah terbit:..

 

brankas coretan:..


Buku Tamu:


Free shoutbox @ ShoutMix

Jumlah Pengunjung

Powered By Blogger